mahkota lembah hati
di suatu pagi, setelah mandi, seperti biasa aku mengacak rambutku dengan tangan, membiarkannya berantakan tanpa menyentuh sisir. Maos, anak bungsuku, yang duduk di ambang pintu kamar mandi, memandangku dengan dahi mengernyit.
"Bapak, kenapa selalu mengacak-acak rambut setelah mandi, bukan malah menyisirnya?" tanyanya penasaran.
Aku tersenyum. Pertanyaan ini pernah terlontar dari dua kakaknya, Gie dan Bre, saat mereka seusianya. Dan seperti kepada mereka, aku pun menjawab dengan naskah yang sama.
"Kebanyakan penduduk bumi menyisir rambut mereka, tapi tidak hati mereka. Mereka merapikan yang tampak, tapi mengabaikan yang tersembunyi. Mereka menaruh mahkota di puncak kepala, tapi lupa bahwa puncak sejati ada di kedalaman lembah hati."
Maos termenung, mungkin mencerna kata-kataku yang terdengar seperti teka-teki. Aku melanjutkan, kali ini lebih lembut.
"Orang sibuk merapikan rambut agar tampak rapi di mata dunia, tapi jarang bertanya apakah hati mereka juga tertata. Rambut boleh disisir berkali-kali, tapi jika hati dibiarkan kusut, apalah artinya?"
Lalu aku berbisik kepadanya:
Kerapihan tak selalu ada di permukaan,
sebab yang sejati tumbuh dalam kesunyian.
Puncak bukan sekadar ketinggian,
tapi kedalaman yang tak terlihat mata.
Ia masih terdiam, mungkin masih mencoba memahami makna yang terselip. Aku tidak berharap ia langsung mengerti. Pesan-pesan seperti ini tidak selalu dipahami dalam sekejap, tapi perlahan meresap dalam perjalanan hidup.
Aku mengacak rambutnya pelan, tersenyum, dan berkata, "Suatu hari, kamu akan mengerti."
Ia tak bertanya lagi, hanya tersenyum kecil. Entah kapan ia akan memahami sepenuhnya, tapi aku tahu, benih itu telah kutanam.
Yogyakarta, 20250210
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment