Kidung kawedar 69

Bait 6 :

Wiji sawiji mulane dadi,

apan pencar saisining jagad,

kasamadan dening Date,

kang maca kang angrungu,

kang anurat miwah nyimpeni,

dadi ayuning badan,

kinaryo sesembur,

yen winacakna ing toya,

kinarya dus rara tuwa aglis rabi,

wong edan nuli waras.

Artinya :

Semula hanyalah sebuah benih,

kemudian tersebar memenuhi alam raya,

karena berkah dari Dzat (Yang Maha Kuasa),

siapa yang membaca dan mendengar

(tentang hal itu),

siapa yang menuliskan maupun yang menyimpan,

akan memperoleh keselamatan,

bisa dijadikan doa,

yang bila dibacakan di air,

dipakai mandi perawan tua akan cepat menikah,

orang gila pun menjadi sembuh.

Bait 7 :

Lamun ana wong kadhendha kaki,

wong kabanda lan kabotan utang,

yogya wacanen den age,

ing wanci tengah dalu,

ping salawe wacanen ririh,

luwar ingkang kabanda,

kang kadhendha wurung,

aglis nuli sinauran,

mring Hyang Suksma kang utang puniku singgih,

kang agring dadi waras.

Artinya :

Bila ada orang yang didenda

(maksudnya di sini dihukum),

orang yang diikat tangannya

(maksudnya ditangkap) dan terbelit hutang,

baik bila segera membaca (kidung ini),

di kala tengah malam,

sebanyak 25 kali secara lirih,

yang ditangkap akan dilepaskan,

yang dihukum akan bebas,

(yang berhutang) akan segara dibayarkan,

oleh Sang Hyang Suksma (Tuhan Yang Maha Gaib)

sehingga yang berhutang menjadi baik namanya,

yang sakit menjadi sembuh.

Bait 8 :

Sapareke bisa anglakoni,

amutiha lawan anawaa,

patang puluh dina wae,

lan tangi wektu subuh,

miwah sabar sukur ing Widhi,

Insya Allah tinekanan,

sakarsa nireku,

tumrap sanak rayatira,

awit saking sawab pangiketing ngelmi,

duk aneng Kalijaga.

Artinya :

Barang siapa dapat melakukan,

berpuasa dengan hanya makan nasi dan air putih saja

(tawar serta tanpa garam dan gula),

selama 40 hari,

dan bangun di kala subuh,

serta sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Esa,

Insya Allah terkabul,

segala kehendaknya,

bagi sanak saudara dan kerabat,

berkat karomah ilmu,

yang diperoleh tatkala menjadi Penjaga Sungai (beruzlah di pinggir sungai).

Bait 9 :

Lamun arsa tulus nandur pari,

puwasaa sawengi sadina,

iderana galengane,

wacanen kidung iku,

kabeh ama pan samya wedi,

yen sira lunga aprang,

wateken ing sekul,

antuka tigang pulukan,

mungsuhira sirep datan nedya wani,

rahayu ing payudan.

Artinya :

Bila menghendaki sukses dalam bertanam padi,

berpuasalah semalam sehari,

kelilingi pematang sawahnya,

seraya membaca Kidung ini,

maka semua hama akan takut,

bila kau hendak berangkat perang,

bacakan kidung ini pada nasi,

makanlah sebanyak tiga suapan tangan,

maka keberanian musuhmu akan lenyap,

sehingga selamat di medan perang.

Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi ini disyiarkan ke masyarakat pada saat budaya tulis belum berkembang, maka sungguh tepat dibuat dalam bentuk tembang mocopat sehingga segera disenangi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, bisa dipastikan semua grup kesenian Jawa khususnya karawitan atau gamelan Jawa, para dalang pewayangan dan pesinden (penyanyi tembang-tembang Jawa), tak peduli Islam atau bukan, bisa menyanyikan Kidung Kawedar.

Namun demikian lantaran panjang, yaitu terdiri dari 46 pupuh atau bait, jarang yang hafal semuanya di luar kepala. Begitu pun dalam hal isi baris, kadang-kadang ada perbedaan meski pun hanya kecil dan tidak terlalu mendasar. Sebagai contoh pada bait 2, kata terakhir dari baris kedua ada yang menyebut mirundadan ada yang miruna, baris ketiga pangulune dan ada yang pandulune, baris ketujuh ada yang menyebut tutut ada pula yang lulut. Kemudian baris kesembilan bait 6, ada yang menyebut rabi dan ada pula yang laki. Baris kelima bait 8, ada yang menyebut miwah tapi ada juga yang lan den. Yang agak berbeda makna adalah bait 5 baris kedua, karena ada yang berbunyi kang minangka rahayuning ngangga, sedangkan versi lain Siti Aminah rahyuning angga.

Dalam hal versi tulis, kita bersyukur seni sastra di Keraton Kasunan Surakarta berkembang pesat pada abad XVII – XIX, sehingga Kidung Kawedar ini bisa dihimpun dalam huruf Jawa. Selanjutnya oleh pujangga Kyai Ronggo Sutrasno, himpunan tersebut disalin ke dalam huruf Latin, dan oleh R.Wiryapanitra Kusumodiningrat, dibuatkan terjemahannya. Terjemahan serta tafsir pertama Kidung Kawedar itu pada tahun 1912 dicetak oleh Penerbit Tan Koen Swi, Kediri.

Komentar

Postingan Populer