Lorong Redup, Kopi Dingin, dan Para Nahkoda yang Lupa Arah
Di dalam perut kapal besar bernama Tuan Besar & Co., lampu-lampu lorong redup berkedip samar. Mesin-mesin berdetak tak beraturan, seolah kelelahan menanggung beban. Di ruang tengah, cangkir-cangkir kopi terlupakan, mengendap dingin seperti keputusan yang tak kunjung diambil.
Kapal sedang miring—gelombang menerpa dari segala arah. Tapi di ruang para nahkoda, bukan peta yang mereka buka, bukan strategi yang mereka bicarakan. Sebaliknya, mereka duduk melingkar, tertawa lepas, berbincang tentang kejayaan masa lalu.
"Saya yang paling berjasa membawa kapal ini sejauh ini!" seru seorang nahkoda, sembari menyesap kopinya yang tinggal ampas.
"Tapi saya yang paling banyak dikagumi anak buah!" sahut yang lain, menepuk bahu dengan bangga.
"Saya? Saya yang paling paham lautan ini!" tambah satu lagi, meski jelas dari sorot matanya, ia tak tahu harus berlayar ke mana.
Di luar ruang mereka, para awak kapal berbisik. Beberapa masih berusaha menimba air yang masuk ke lambung kapal, sementara yang lain duduk lelah, menatap kopi dingin mereka dengan pasrah. Mereka tahu, ini bukan lagi soal menyelamatkan kapal—ini tentang siapa yang masih bisa berdiri di geladak saat segalanya tenggelam.
Dan di lorong-lorong gelap itu, bayangan para nahkoda membesar, seolah mereka lebih berkuasa dari yang sebenarnya. Tapi ketika listrik akhirnya padam, yang tersisa hanyalah suara ombak—dan kopi yang kini benar-benar dingin.
Pomalaa, 20250324
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment