warisan sunyi dari bapak

Aku duduk di teras rumah kami, tempat yang dulu menjadi singgasana malam bagi Bapak—atau Be, begitu aku biasa memanggilnya. Angin malam menyentuh wajahku dengan lembut, membawa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Aku menatap gelapnya malam, mencari jawaban yang dulu tak pernah aku dapatkan dari Bapak.

"Kenapa, Be? Kenapa selalu diam? Kenapa selalu seperti itu?" gumamku pelan, berbicara kepada bayangan masa lalu yang hanya aku kenal.

Namun, seperti malam-malam sebelumnya, hanya sunyi yang menjawab. Di dalam pikiranku, suara Bapak muncul—serak, pelan, tapi penuh ketegasan.
"Kadang, diam itu jawaban. Kadang, diam itu kekuatan. Kalau kau terlalu banyak bicara, kau akan kehilangan kekuatan itu, Nak."

Aku mendesah, getir. "Jawaban yang sama, Be. Jawaban yang dulu aku benci."

Bapak selalu keras padaku, berbeda dengan sikap lembutnya kepada kakakku, sulung yang bijak, atau adikku, bungsu yang selalu menjadi perhatian. Kepada mereka, Bapak adalah pelindung; kepadaku, seolah hanya seorang hakim yang tak pernah ragu menjatuhkan vonis.

"Kau harus lebih kuat dari mereka," suara Bapak kembali terdengar dalam benakku, kali ini lebih tajam.
Aku menatap kosong ke depan, lalu berbisik, "Kenapa aku, Be? Kenapa bukan sulung? Kenapa bukan bungsu?"

Aku teringat malam saat aku membanting pintu kamar, penuh dengan kemarahan kepada Bapak. "Kenapa selalu aku, Be? Kenapa aku yang selalu salah?" teriakku waktu itu. Namun, seperti biasa, Be hanya memandangku dengan tenang, tanpa kemarahan, tanpa kata-kata, sebelum berbalik dan meninggalkanku sendiri dalam gejolak amarah.

Dengan cepat aku berlari keluar, tidak tahu harus kemana, hanya ingin lari dari semua yang terasa menyesakkan. Aku mencari ibu, ingin mengadu. "Kenapa aku berbeda? Kenapa Bapak tak adil padaku?" Teriakku sambil menangis, bukan karena cengeng, tetapi karena marah yang membuncah. Setiap tetes air mata yang jatuh seolah mengalirkan seluruh amarah yang terkumpul.

Ibuku, seperti biasa, diam sejenak. Tak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya menatapku, memberi ruang untuk setiap rasa yang belum ku ungkapkan. Setelah beberapa saat, ia mengajakku duduk di ranjang dapur, tempat ia biasa memasak. Ia membawa segelas air putih, memberikannya padaku, dan akhirnya membuka mulut.

"Yaa, kamu memang dibedakan," kata Ibu, lembut namun penuh makna. "Kamu memang berbeda, dan kamu harus syukuri itu. Kamu bukan anak biasa... kamu itu pintar, sekolahmu saja juara tanpa belajar. Yang perlu kamu lakukan adalah tenang, jangan iri dengan kakak atau adikmu. Nanti pada waktunya, ilmu itu akan menetap di dirimu, dan kau akan bersyukur atas apa yang terjadi hari ini—atau hari dimana kamu merasa menderita, bahkan karena Bapak, Ibu, atau apapun yang membuatmu merasa seperti ini."

Sekarang, tujuh bulan sejak Bapak tiada, aku mulai memahami apa yang selama ini tidak pernah dijelaskan.

Malam pertama setelah Bapak dimakamkan, rumah kami dipenuhi dengan orang-orang. Tamu-tamu yang datang, banyak di antaranya adalah wajah-wajah yang tak dikenal, meski sebagian besar berasal dari kampung yang sama. Namun, semua membawa cerita yang mengungkapkan sisi lain Bapak yang selama ini hanya mereka dengar dalam bisik-bisik, atau tidak pernah mereka dengar sama sekali.

Seorang tetangga datang dengan wajah haru, matanya sembab. "Bapak kalian... dia selalu membantu kami tanpa pernah meminta imbalan. Saya ingat betul saat atap rumah saya rusak beberapa tahun lalu, dia yang datang tanpa diminta. Dia benerin atap itu, sampai selesai. Padahal, pekerjaannya tidak mudah. Bapakmu kerja tanpa mengeluh, seperti nggak ada beban. Yang ada cuma senyum di wajahnya."

"Ya," kata yang lain, "Saya juga ingat waktu rumah saya mulai ambruk, Bapak kalian itu datang dengan antusias. Dengan riang, dia bilang, 'Nggak apa-apa, nanti saya bantu.' Dia nggak pilih-pilih pekerjaan, apapun yang diminta, dia kerjakan. Dari pagi sampai malam, sampai pekerjaan selesai. Tidak pernah menuntut bayaran yang besar, hanya seadanya, atau dibayar dengan angsuran sedikit-sedikit. Yang penting, dia bisa membantu."

Ada yang mengingatkan, "Waktu dia bantu saya perbaiki pagar, saya bilang, 'Bapak, saya bayar berapa?' Dia cuma senyum dan bilang, 'Ah, saya nggak butuh uang banyak, yang penting bisa bantu.' Kadang, saya bayar dengan apa yang saya bisa, sedikit-sedikit, dan dia menerima dengan hati yang lapang."

Semakin banyak orang datang, semakin banyak pula cerita yang terungkap. Semua orang tampaknya punya kenangan dengan Bapak. Cerita tentang bagaimana ia membantu memperbaiki rumah, memperbaiki jalan yang rusak, atau sekadar membantu tetangga tanpa perlu diminta—semua itu menjadi kisah yang hidup dalam hati mereka. Tidak ada yang menilai Bapak sebagai orang yang banyak bicara atau bergaul. Sebaliknya, mereka mengingatnya sebagai sosok yang tak pernah menghindar dari kerja keras dan selalu ada saat dibutuhkan.

Di tengah riuhnya pembicaraan itu, seorang pria tua, yang dikenal sebagai teman dekat Bapak, berdiri dan mengangkat suara. "Bapak kalian itu adalah orang yang benar-benar peduli. Bapak kalian nggak banyak omong, tapi setiap perbuatannya penuh makna. Saya sendiri pernah kesulitan, tapi dia datang. Nggak pernah nanya siapa saya, nggak pernah peduli dia kenal atau nggak. Yang penting, dia membantu."

Malam itu, rumah kami seperti tempat yang penuh dengan cerita hidup Bapak. Tidak ada yang mengingat Bapak karena kata-katanya yang banyak, melainkan karena tindakannya yang tenang, yang memberi tanpa mengharapkan balasan. Bapak selalu bekerja dengan hati, tanpa meminta pengakuan, namun kini pengakuan itu datang dari semua orang yang pernah dia bantu.

Aku duduk, mendengarkan riuhnya cerita yang mengalir. "Kenapa aku tidak tahu, Be? Kenapa kau tidak pernah bercerita tentang semua ini?" bisikku. Tapi aku tahu jawabannya. Bapak tidak pernah mencari pujian. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar, dalam diam, seperti yang selalu ia lakukan.

Dan kini, aku melihat diriku sendiri, mulai menjalani hidup seperti Bapak. Duduk di malam sunyi, memikul beban tanpa berbagi, menyelesaikan semuanya dalam kesendirian. Aku mulai memahami bahwa ada kekuatan dalam diam, ada makna dalam senyum kecil yang tak banyak kata.

"Terima kasih, Be," bisikku akhirnya. "Kau mengajarkan aku cara menjadi laki-laki. Dan aku akan menjaga warisanmu—dalam diam, dalam kerja, dalam doa."

Di bawah cahaya bulan, aku merasa tidak sendirian. Bapak ada di sana—bukan dalam tubuh, tapi dalam setiap pelajaran yang ia tinggalkan, dalam setiap cerita tentang kebaikan yang terus hidup di hati banyak orang.

Aku menatap langit malam yang semakin gelap, hanya ditemani cahaya rembulan yang lembut, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang aku lalui. Aku yang dulu selalu merasa terpinggirkan di antara sulung yang bijak dan bungsu yang selalu mendapatkan perhatian. Aku yang selalu merasa seperti bayangan, selalu di belakang mereka, dan dalam banyak hal—terasa seperti musuh sejati yang tak pernah dimengerti. Aku yang selalu menganggap diri ini tak pernah cukup dihargai, tak pernah diakui.

Tapi malam ini, setelah tujuh bulan kepergian Bapak, aku mulai melihat dengan jelas. Aku tahu, Bapak tidak pernah ingin aku merasa seperti itu. Dia bukan hanya seorang ayah yang keras, bukan hanya seorang Bapak yang selalu memberi tanpa banyak bicara. Dia adalah seorang lelaki yang mengajarkan aku bagaimana hidup dengan integritas, bagaimana tetap kuat meski tidak diakui, bagaimana menjadi diam dalam kebijaksanaan yang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Sekarang, aku mengerti. Mungkin Bapak tidak pernah memperlakukan aku seperti sulung atau bungsu karena dia ingin aku belajar untuk berdiri sendiri, untuk kuat tanpa bergantung pada apapun. Aku yang dulu marah karena merasa terabaikan, sekarang tahu bahwa dalam diamnya, Bapak menantang aku untuk menjadi lebih baik—untuk bisa mengerti bahwa hidup tidak selalu tentang pengakuan, tetapi tentang keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri meski dunia tak selalu melihat.

Aku tidak akan pernah bisa sepenuhnya menjadi seperti Bapak. Tapi malam ini, aku bertekad untuk menjadi setidaknya hampir mirip. Aku akan menjaga apa yang sudah ia tanamkan, dalam diam, dalam kerja keras, dalam setiap senyuman yang ikhlas meski tanpa kata. Aku akan berusaha menjadi sekuat dan sepenuh hati yang Bapak tunjukkan selama ini, meskipun aku tahu tidak akan pernah ada pengakuan sebesar itu.

Aku sadar, bahwa menjadi orang yang selalu ada di hati banyak orang, yang tidak diakui, adalah beban yang luar biasa. Tidak ada piala, tidak ada penghargaan yang bisa membalas ketulusan itu. Tapi aku kini mengerti, bahwa untuk menjadi seperti Bapak bukanlah tentang pujian atau balasan, melainkan tentang menjalani hidup dengan keikhlasan, tentang memberikan tanpa mengharap kembali, tentang menjadi seseorang yang tetap berdiri tegak, meskipun dunia tidak selalu memberikan tempat yang layak.

Aku akan terus berjalan dalam diam ini, dengan tekad untuk tidak hanya menghargai apa yang Bapak lakukan, tetapi untuk meneruskan apa yang telah ia mulai. Di dalam kesendirian malam ini, aku merasa lebih dekat dengan Bapak, dengan cara yang tidak pernah aku duga. Bapak bukan hanya ayahku. Dia adalah sahabat sejati dalam diam, dan kini aku mengerti betul makna itu.

Rumah, 20240909
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts