berkah usiamu, bro
Monto, kakakku, adalah cahaya pertama yang kutemui dalam perjalanan hidup ini. Bukan hanya seorang kakak, tetapi juga seorang bapak yang menggantikan Ayah saat ia pergi merantau. Dan bukan hanya itu, Kakak, kau juga menjadi ibu yang mengisi kekosongan ketika Ibu turut pergi demi perikanan, meninggalkan kita dengan doa yang tertanam di setiap pelukan terakhirnya.
Kau adalah segalanya yang kami butuhkan di masa kecil, seorang anak sulung yang tak hanya menjadi pelindung, tetapi juga menjadi tiang penyangga keluarga kecil kita. Kau yang menenangkan kami saat malam terasa begitu sunyi tanpa suara Ayah atau Ibu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan agar gelap tidak terasa begitu mencekam. Kau yang menyuapkan nasi pada adik kecil kita ketika tanganku sendiri terlalu canggung untuk melakukan itu.
Kau yang bangun paling awal, memastikan kami mendapatkan sarapan meski kau sendiri sering mengalah, memilih hanya menyeruput teh hangat di pagi yang dingin. Kau yang mengajari kami bagaimana memegang cangkul di ladang kecil di belakang rumah, dengan tangan kecilmu yang seharusnya tak menanggung beban sebesar itu. Kau yang menjahit sobekan baju kami dengan benang seadanya, walau jarimu gemetar dan matamu lelah.
Tapi, Kakak, ada satu hal yang tidak akan pernah kulupakan dari masa kecil kita: perkelahian kecil yang sering terjadi di antara kita. Kadang karena hal sepele—entah aku merasa kau terlalu memaksaku membantu pekerjaan rumah, atau Fabre marah karena merasa kau tidak adil. Kita bertengkar, Kakak, kau dan aku saling berteriak, kadang bahkan saling dorong. Tapi kau selalu mengalah.
Aku tahu kau bisa saja menang, Kakak. Kau lebih kuat, lebih besar, dan lebih tua. Tapi kau tidak pernah menggunakan kekuatanmu. Kau memilih diam, menunggu emosiku reda, dan hanya berkata, “Kalau kau sudah tenang, kita bicara.” Tapi kata-kata itu malah membuatku menangis. Tangisku lebih karena malu—aku tahu aku salah, tapi kau tetap memelukku, memintaku berhenti menangis.
Fabre sering ikut menangis saat melihat kita seperti itu. Kau menggendongnya, menenangkan dia lebih dulu, lalu mengajakku duduk bersama. “Kita keluarga, tidak boleh saling menyakiti,” katamu. Dan entah kenapa, setiap perkelahian kecil itu selalu berakhir dengan keakraban yang lebih erat. Seakan-akan, dari setiap pertengkaran, kita menemukan cara baru untuk saling memahami.
Hakikat cinta adalah memberi tanpa mengukur.
Dan kau adalah cinta itu, Kakak.
Kau adalah tangan yang mengangkat beban kami,
Meski pundakmu sendiri hampir patah.
Kau adalah mentari kecil di ufuk timur,
Yang tak pernah bertanya apakah pagi akan tiba.
Kau hanya terus menyinari,
Menyeka gelap dengan cahaya,
yang tak pernah kau minta kembali.
Ketika Ayah dan Ibu berjuang di negeri jauh demi perikanan, Kakak, kau adalah rumah kami. Kau mengisi kekosongan itu dengan kesabaran dan kekuatan yang tidak pernah kami pahami sepenuhnya saat itu. Kau mengajarkan kami bahwa kehilangan sementara bukan berarti kekalahan, tetapi ruang untuk bertumbuh. “Mereka pergi untuk kita,” katamu dengan suara yang begitu matang untuk anak seusiamu. “Dan aku di sini untuk memastikan kalian tetap merasa punya keluarga.”
Kehidupan kita di kaki Merapi penuh kesederhanaan, bahkan kadang kekurangan. Tapi kau mengajarkan kami untuk tidak pernah malu. “Kita bukan orang kaya,” katamu suatu kali, “tapi kita punya kehormatan. Dan kehormatan itu adalah kerja keras kita. Selama kita tidak meminta-minta, kita tidak pernah miskin.”
Aku ingat bagaimana kau mendidik kami tanpa paksaan, tetapi dengan teladan. Kau menahan marahmu ketika kami membuat kesalahan, memilih untuk berbicara pelan dan mengajarkan apa yang benar. Kau tidak pernah menggurui, Kakak, tapi kau adalah buku hidup yang kami baca setiap hari.
Apakah kau tahu, Kakak, bahwa kami sering diam-diam menangis ketika melihatmu?
Tidak karena kasihan, tetapi karena bangga.
Bangga pada kakak yang seharusnya hanya anak kecil,
Tapi memilih menjadi benteng yang tak tergoyahkan.
Kau adalah doa yang bergerak dalam diam,
Membentuk jalan bagi kami untuk melangkah.
Kau adalah akar yang menembus tanah terdalam,
Menopang pohon kehidupan kami agar tak tumbang.
Monto, Kakak, kau mengajarkan kami arti hidup lebih dari siapa pun. Kau mengajarkan bahwa cinta bukan sekadar kata, tapi tindakan yang tak selalu terlihat. Kau mengajarkan bahwa tanggung jawab bukan beban, tetapi anugerah yang membentuk kita menjadi manusia yang sebenarnya.
“Ketulusan adalah rumah bagi jiwa yang merindu, tempat segala rasa kembali dengan damai.”
“Kehidupan bukan tentang apa yang kita kejar, tetapi siapa yang kita lindungi dalam perjalanan itu.”
“Kesabaran adalah jalan panjang yang kadang terasa sunyi, tetapi selalu membawa kita ke tempat yang lebih terang.”
“Cinta sejati tak mengenal syarat, ia hadir dalam bentuk pelukan, pengorbanan, dan doa yang tak pernah terucap.”
Kini, pada tanggal 19 September 2024, usiamu genap 42 tahun. Selamat ulang tahun, Bro. Kami tahu, waktu tidak pernah benar-benar memberikanmu kemudahan, tapi kau selalu memilih untuk berjalan dengan kepala tegak.
Semoga langkahmu selalu dipenuhi berkah. Semoga Tuhan memberimu kekuatan seperti yang kau beri kepada kami, ketenangan seperti yang kau tanamkan pada kami, dan cinta yang sama seperti yang kau curahkan sepanjang hidupmu. Kau adalah cahaya kami, Kakak, dan tak ada ucapan yang cukup untuk menggambarkan betapa kami mencintaimu.
Gresik, 20240919
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment