Kebijakan langit...

ceritanetsitus karya tulis, edisi 164 selasa 080923 

sampul
esei
sajak
laporancerpen
novel
memoar
komentarterbitan
edisi lalu
daftar buku
kirim tulisan

ikut mailing list

tentang ceritanet

komentar Tragedi Zakat dan Kebijakan Langit 
Imron Supriyadi

Pembagian zakat oleh keluarga Saikhon di Pasuruan, Jawa Timur. berakhir tragis. Banyak yang menyebutnya sebagai tragedi zakat; 21 orang (semua wanita) meninggal dunia. Ini menjadi pengulangan tragedi 2003 di Jakarta, yang menelan korban 3 tewas, dan pada 2002 di Gresik dengan 1 korban jiwa. Bbila masalah ini terbiar begitu saja, bisa jadi akan muncul kasus serupa di tahun-tahun berikutnya. Belum genap satu pekan tragedi zakat terjadi, di Probolinggo sudah terjadi lagi kegiatan serupa. Untung korban hanya pingsan.

Saya tidak tahu persis kenapa sebagian umat lebih senang menjadi sekelompok manusia yang suka mengulangi kesalahan, ketimbang belajar dari kesalahan untuk mencari kebenaran? Kalau Gresik (2002) dan Jakarta (2003) dijadikan pelajaran, maka tidak perlu ada peristiwa dengan banyak korban. Tetapi kita sering aneh. Sudah jelas kumpulan ribuan manusia yang tidak terorganisir akan menimbulkan risiko nyawa, tapi tidak juga mencoba kordinasi dengan pihak berwenang. Mengutip Emha Ainun Nadjib, kadang-kadang kita sudah benar tetapi belum baik. Dan di lain hari, kita kadang-kadang sudah baik tetapi belum benar.

Kalimat Cak Nun itu seperti parodi dan lelucon dalam seni ludruk atau lenong. Tetapi secara kontekstual, sindiran Cak Nun mempunyai makna serius, sekaligus kritik terhadap perilaku manusia; fisik maupun batin. Perilaku fisik contohnya tragedi zakat di Pasuruan. Perilaku batin, contohnya, seseorang yang sudah sedemikian rajin mengaji di masjid, tetapi kemudian dalam hatinya terbersit akan lebih baik kalau membaca Al-Quran menggunakan pengeras suara supaya didengar banyak orang.

Masalahnya kemudian bukan boleh dan tidaknya menggunakan pengeras suara, tetapi ketika perbuatan yang bernilai ibadah kemudian berbalik hanya ingin mendapat pujian, maka yang terjadi bukan prestasi ibadah secara vertikal, melainkan riya (pamer) atau prestise ibadah horizontal. Mengukur pamer dan tidaknya seseorang memang tidak bisa dilihat secara dlohir. Tetapi ilmu kejiwaan mengajari kita bahwa kejiwaan seseorang akan terlihat dari gejala jiwa yang muncul.

Lihat saja pada seseorang yang rajin mengaji dengan menggunakan pengeras suara. Suatu ketika mati lampu, atau pengeras suaranya rusak, yang bersangkutan masih rajin mengaji atau tidak?  Ini untuk membaca kejiwaan seseorang. Kalau yang bersangkutan tetap mengaji tanpa pengeras suara, berarti memiliki komitman rohani standar. Kalau tidak, berarti ukurannya pengeras suara. Besok kalau di alam akhirat bisa jadi membuka toko elektronik menjal pengeras suara.           

Tragedi zakat menjadi bagian bukti dari kalimat Cak Nun. Program kepedulian terahadap fakir miskin itu sudah baik. Tetapi membiarkan mereka berdesakan hingga tersengal-sengal kehabisan napas itu yang belum benar. Atau sebaliknya, memberi uang dan sedikit bahan sembako kepada fakir miskin sudah benar dilakukan di Bulan Ramadhan, tetapi kepedulian ini kemudian belum baik karena tidak dengan menejemen atau pengelolaan yang baik, sehingga jatuh korban 21 jiwa.

Jelas kalau dari tragedi zakat di rumah keluarga Saikhon Pasuruan, Jawa Timur, bisa ditarik beberapa catatan. Dan saya melihat ada 5 hal.

Pertama; Manajemen Zakat.. Ini menjadi bagian penting dan kritik terhadap lembaga pengelola zakat, yang harus kembali menyusun rencana strategis (renstra) tatakelola penyaluran dan pemberdayaan zakat, sehingga di masa mendatang para mustahik (penerima zakat) tidak perlu berjejal-jejal dalam antrean panjang yang melelahkan.

Kedua : Kepercayaan. Dalam kasus ini, tidak bisa serta merta keluarga Saikhon disalahkan. Yang perlu dikaji adalah mengapa keluarga Saikhon tidak menyerahkan zakatnya ke lembaga-lembaga pengelola zakat? Ada apa? Bukan hanya Saikhon, tetapi sebagian masyarakat Indonesia ternyata belum secara maksimal menjadikan lembaga pengelola zakat sebagai ruang beramal atau sebagai lembaga yang dipercaya dalam mengelola harta ummat.

Kalau melihat potensi, setiap tahunnya di Indonesia diperkirakan bisa terkumpul Rp. 700 triliun, namun yang terealisasi hanya Rp. 500 miliar? Mengapa? Kurangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap lembaga pengelola zakat. Tetapi dilain pihak, minimnya pengetahuan sebagian masyarakat terhadap harta yang wajib dizakati. Ini juga menjadi tanggungjawab semua pihak, tentang bagaimana membangkitkan kepercayaan sekaligus meningkatkan pengetahuan dan penyadaran zakat kepada masyarakat.

Ketiga; Kepedulian. Dengan kasus ini, Tuhan sedang ingin mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia menjadi mahluk sosial (zone politicon), merupakan fakta yang tak terbantahkan. Dengan peristiwa ini Tuhan juga sedang ‘memaksa’ Pemerintah Daerah Pasuruan agar mengeluarkan anggaran dana APBD untuk fakir miskin. Bukan karena Pemda Pasuruan selama ini tidak peduli, tetapi Tuhan sedang ingin mengajari para pengelola Negara Pasuruan untuk menjadi pelayan rakyat.

Artinya, tragedi zakat di Pasuruan bisa menjadi teguran bagi semua pihak betapa sudah minimnya sikap kepedulian kita, sehingga untuk membangkitkan kepedulian ini saja, Tuhan harus ‘membuat tragedi zakat supaya manusia kembali kepada fitrah-nya; saling peduli. Peduli yang saya masksud bukan sekedar ikut prihatin, tetapi jauh lebih penting adalah mewajibkan diri untuk terus peduli dan berbagi antar sesama, agar di kemudian hari para tetangga kita tidak lagi menjadi ‘tangan dibawah’ yang berhimpit menunggu amplop dan sembako, tetapi menjadi sekelompok masyarakat “tangan diatas” yang selalu memberi dan menebar manfaat.            

Keempat; Pemeliharaan. Peristiwa ini merupakan cara Tuhan untuk memelihara hamba-Nya, untuk segera pulang bagi yang meninggal, atau harus istirahat bagi yang terluka. Panggilan pulang bagi 21 orang yang meninggal merupakan kewajiban setiap mahluk hidup.

Kasus ini juga sebagai wujud betapa Tuhan demikian sayang terhadap 21 umatnya karena Tuhan sedang meluruskan 21 orang itu agar mereka tidak berbelok ‘niat’ hanya lantaran mendapat uang Rp. 30 ribu. Tidak jarang ada saja yang kemudian ‘menggeser tauhid’ dan menggantinya dengan simbol-simbol lain, apakah memper-Tuhan-kan uang, jabatan, kekayaan dan lain sebagainya.

Kelima; miniatur Indonesia. Indonesia menurut Cak Nun adalah penggalan sorga. Seolah sorga pernah pecah, dan pecahannya itu bernama Indonesia. Setiap jengkal tanah tidak ada yang tidak menghidupi manusia. Tongkat dan kayu saja bisa menjadi tanaman. Tetapi mengapa tragedi zakat Pasuruan masih terjadi? Jawabnya, begitulah meniatur Indonesia.

Kita menjadi ayam yang mati di lumbung. Mestinya mati karena tertimpa makanan, tetapi realitanya tertimpa orang cari makan, akibat berebut makanan karena kekurangan makanan. Padahal kita berada di bumi yang merupakan pecahan sorga. Tanah terbentang luas. Musim berganti secara teratur sesuai kebutuhan manusia. Tetapi mengapa sebagian kita masih tetap dalam keterpurukan? 

Sepertinya, ‘kebijakan langit’ memang sedang ingin mengabarkan pada dunia, orang kaya di Indonesia itu memang masih senang dan minta didatangi fakir miskin, ketimbang mendatangi fakir miskin. Itulah (Bukan hiduplah) Indonesia Raya!
*** 
Muara Enim, 17 Ramadhan 1429 H

Tulisan Lain
Bercinta di Gerbong Kereta Tambahan Nomor 29 
Wahyu Heriyadi
Mencari jejak Gunung 
Gendhotwukir
Larutku Ceritaku 
Irma Putri Hayanti

ceritanet©listonpsiregar2000

 

Komentar

Postingan Populer