Tasinah Tursina
Tasinah Tursina,
perempuan yang terlahir dari doa, memegang erat prinsip hidup yang diwariskan dari leluhurnya. “Menata sing Ora Genah,” sebuah kalimat yang mengajarkannya untuk menata apa yang tidak sesuai agar menjadi sesuai, seperti gunung Tursina yang kokoh berdiri, meskipun diterpa badai kehidupan. Ibu dari tiga anak laki-laki ini adalah seorang perempuan yang tak hanya kuat, tetapi juga penuh cinta yang tak tergoyahkan, meski hidupnya sering dihimpit kesulitan.
Tasinah lahir di keluarga terpandang, anak keempat dari delapan saudara. Keluarganya, meski kaya akan adat, tak pernah mengajarkan hidup yang mudah. Justru, mereka menanamkan nilai-nilai ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran. Dibesarkan dalam suasana yang kental dengan kebijaksanaan, Tasinah sejak muda telah diajarkan untuk menerima segala yang ada dalam hidup dengan penuh hati.
Ketika ia bertemu dengan Jumingan Adi Haryanto, seorang pria sederhana dari Jogja, Tasinah merasa ada sesuatu yang menyatukan di antara mereka. Jumingan, meski tampak pendiam dan tidak banyak bicara, adalah sosok yang mandiri dan ulet. Anak dari Ali Pawira, seorang abdi dalem yang dihormati, namun juga seorang pengusaha Tikar Rami yang bangkrut karena judi, Jumingan mewarisi karakter kuat dari ayahnya, meski lebih sering menutup diri dari dunia luar. Ali Pawira, pengusaha yang dulunya sukses, akhirnya bangkrut akibat kecanduan judi, mewariskan beban berat bagi keluarganya. Jumingan, yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, terpaksa menjual kambing belasan ekor miliknya sendiri untuk menutup utang judi sang ayah, sebuah keputusan pahit yang membekas di hatinya.
“Cinta itu datang dalam diam,” kata Jumingan suatu malam, merenung tentang hidup yang penuh perjuangan.
Tasinah hanya mengangguk, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa cinta itu lebih dari sekadar diam. “Kita menata yang tidak sesuai agar menjadi sesuai,” jawabnya. Kata-kata ini menjadi mantra hidup mereka, meski jalan yang mereka tempuh seringkali penuh onak dan duri.
Mereka pun menikah dan dikaruniai tiga anak laki-laki. Anak pertama, seperti sang ibu, bijaksana dan penuh pengertian. Ia sering bertanya tentang kehidupan dan mencari pemahaman lebih dalam tentang dunia. Anak kedua, mirip dengan sang ayah, pendiam dan penuh misteri. Namun, dalam dirinya ada konflik batin yang tak tampak di permukaan—seperti pertarungan antara malaikat dan iblis yang saling mempengaruhi cara berpikir dan tindakannya. Ia pendiam, namun dalam hatinya sering bergejolak dua kekuatan yang saling bertentangan: satu yang mendorongnya untuk memahami hidup dengan penuh kasih, dan satu lagi yang membawanya ke dalam sisi gelap, mengajaknya untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lebih sinis dan penuh pertanyaan. Ada kalanya ia merasa bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak seharusnya diterima begitu saja, namun di sisi lain, ia juga merasakan panggilan untuk menerima segala kenyataan, meski pahit.
Dan yang ketiga, penuh kasih sayang dan manis, membawa keceriaan di tengah kehidupan yang sering penuh kesulitan.
Tasinah mengajarkan anak-anaknya untuk menerima kehidupan dengan sabar, mencintai tanpa syarat. “Cinta itu bukan hanya memberi, Nak. Cinta itu juga menerima apa adanya,” kata Tasinah dengan lembut, saat mereka berkumpul di meja makan. Kata-kata yang sederhana, namun sarat makna.
Namun, kehidupan mereka tak pernah berjalan mulus. Di luar rumah, mereka sering dicemooh, dihina, dan direndahkan oleh banyak orang. Orang-orang tidak pernah mengerti mengapa mereka tetap bertahan meski begitu banyak kesulitan yang mereka hadapi. Beberapa bahkan berbisik di belakang, meremehkan keluarga ini yang tampak selalu terpinggirkan, hidup dalam kesederhanaan yang serba kekurangan.
“Keluarga itu kan hanya ilusi! Lihat saja, mereka tak akan pernah keluar dari kemiskinan,” cemooh beberapa orang di desa. Namun, Tasinah tidak peduli. Ia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak terpengaruh oleh hinaan-hinaan tersebut.
“Jangan pedulikan apa yang orang katakan, Nak. Mereka tidak tahu perjalanan kita. Hanya kita yang tahu seberapa keras kita berjuang,” kata Tasinah dengan tegas, meski hatinya juga terluka mendengar hinaan yang terus menerus datang.
Jumingan, meskipun tidak banyak berbicara, juga merasa sakit atas ejekan dan cemoohan itu. Namun, ia tetap diam, menyembunyikan perasaannya. Dalam hati, ia tahu bahwa cinta kepada keluarga dan tanah air lebih berharga daripada apa yang orang lain katakan.
Anak-anak mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa dunia memang tidak selalu adil, tetapi mereka belajar untuk melangkah dengan kepala tegak. Mereka tidak takut dihina atau dipandang sebelah mata. Sebaliknya, mereka justru merasa bangga dengan keluarga mereka, meski hidup mereka penuh perjuangan. “Kami bukan hanya hidup untuk memenuhi harapan orang lain. Kami hidup untuk menghargai diri kami sendiri dan orang-orang yang kami cintai,” kata anak pertama suatu hari, saat mereka menghadapi tantangan bersama.
Di saat-saat seperti ini, Tasinah selalu mengingatkan mereka bahwa hidup adalah tentang keberanian untuk terus berjalan meskipun banyak orang meremehkan. “Terkadang, orang akan merendahkan kita karena mereka takut melihat kita berkembang. Biarkan mereka berkata apa saja, karena kita akan terus maju,” ucap Tasinah, dengan mata penuh keyakinan.
Anak kedua, yang sering terjebak dalam pertanyaan besar tentang dunia, mulai menemukan kedamaian dalam kata-kata ibunya. Ia belajar untuk tidak menganggap hinaan dan kerendahan hati orang lain sebagai penghalang. Di dalam dirinya, ia mulai menerima kedua sisi—iblis dan malaikat—yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Keluarga ini akhirnya menemukan kedamaian dalam keteguhan mereka. Tasinah, meski hidup dalam keterbatasan dan selalu dihadapkan pada tantangan, tetap tegar, tak terpengaruh oleh cemoohan dan hinaan. Ia tahu bahwa jalan yang mereka pilih bukanlah jalan yang mudah, namun jalan yang penuh dengan makna.
Dengan keteguhan hati ibunya yang penuh kesabaran, serta kekuatan diam ayahnya yang penuh pengorbanan, ketiga anak mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan bijaksana. Mereka memahami bahwa kehidupan tidak selalu adil, namun dengan hati yang tegar, mereka belajar untuk melangkah dengan kepala tegak. Mereka tidak takut akan hinaan atau cemoohan, karena mereka tahu betul apa yang telah diajarkan oleh ibu mereka—bahwa keberanian untuk terus maju meski dunia sering merendahkan adalah hal yang paling penting. Sementara itu, ayah mereka, dengan ketenangan dan diamnya, mengajarkan mereka untuk tetap kuat meski dunia tidak selalu memberi mereka apa yang mereka inginkan. Keduanya—ibu dan ayah—telah membentuk anak-anak mereka menjadi pribadi yang tidak hanya tangguh dalam menghadapi dunia luar, tetapi juga bijaksana dalam menerima setiap kenyataan hidup. Dalam perjalanan hidup mereka kelak, mereka akan terus membawa warisan itu: keteguhan hati ibu yang penuh cinta, dan kekuatan diam ayah yang tak pernah goyah.
Hari ini, Minggu, 4 Februari 2024, pukul 09.30, Pangeran Tursina akhirnya pergi kembali kepada asal, di Surga menemui Tuhan, sebagaimana perjanjiannya yang telah lama terpatri dalam hati. Kehilangan itu hadir, tidak hanya sebagai kesedihan yang datang seiring dengan perpisahan, tetapi juga sebagai keheningan yang mengingatkan pada hakikat hidup yang penuh dengan ujian dan perjalanan panjang. Dalam pertemuan itu, ia memberi kenyataan tentang rasa kehilangan, bukan sekadar kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan yang lebih dalam—kehilangan seorang teman hidup yang luar biasa, yang telah bersamanya dalam suka dan duka, dalam diam yang penuh makna.
Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, mengingatkan Tursina bahwa hidup ini adalah serangkaian pertemuan dan perpisahan, yang tak pernah lepas dari perjalanan takdir. Dalam diam, Tursina menemukan kedamaian, memahami bahwa setiap perpisahan membawa pelajaran yang lebih dalam dari sekadar kehilangan. Cinta, kata-Nya, bukan hanya tentang kedekatan fisik atau kesenangan duniawi, melainkan tentang pengertian yang melampaui ruang dan waktu, tentang kehadiran dalam ketidakhadiran.
Tursina belajar bahwa setiap cinta sejati selalu mengandung keikhlasan, bahkan ketika ia tak lagi bisa berbicara atau saling memandang. Dalam diam, cinta itu tetap hidup. Ia mengingatkan dirinya, bahwa hidup ini, pada hakikatnya, adalah tentang melepaskan dengan lapang dada. Saat seseorang yang kita cintai pergi, itu bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sebuah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang arti keberadaan dan hubungan antar jiwa.
Hal itu juga yang menjadi buku dasar dalam mengajarkan nilai kepada tiga buah hatinya, buah cintanya dengan lelaki yang tak biasa. Yang mengajarkan anak-anaknya menjadi laki-laki yang juga tak biasa. Dalam peluk anak pertamnya Suami tercinta menghembuskan nafas terakhirnya di Mushola Nurrohim. Dan dalam peluk si bungsu Tasinah menunggu Jenazah suaminya di hormati oleh khalayak, sebelum akhirnya Tasinah menyapa suaminya yang wajahnya cerah bercahaya, sungging senyum yang kaku dan abadi di wajah suami yang selama ini diam, dan kini diam lagi, dan dalam diam lelaki di hadapanya dia bicara " Padahal, kita sudah sepakat kemarin, melihat anak-anak kita dan cucu dari 3 anak kita tumbuh. Terbayang kan bahagianya bagaimana? tapi kamu memilih hal yang lebih bahagia, di hidupmu kau bahagia dengan diammu, di akhir hidupmu kau bahagia dengan pergimu"...
Apakah aku sanggup menahan rindu diammu yang berisik nanti? lanjutnya lagi.. sampai datang kepulangan anak keduanya dari luar kota, memeluk bunda yang semakin meruntuhkan ketabahan dan tegarnya yang tadi baru saja terkumpul kembali. Betapa pundak anak keduanya mengingatkan kembali sosok pangeran yang menjadi suaminya... Pinter ya, diamnya, juga sorot tajam dan kedalaman dari matanya.. nyaris tak dibuang sedikitpun.
Dan meskipun dunia mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan dalam hal-hal yang tampak nyata, Tursina tahu bahwa kebahagiaan sejati datang dari pengertian yang dalam akan hakikat hidup itu sendiri—terutama tentang menerima dan memberi dengan tulus, tanpa berharap imbalan. Cinta yang sejati adalah cinta yang bebas, yang tumbuh dalam keheningan, yang tidak terganggu oleh keramaian dunia.
Kini, dengan segala yang telah diajarkan oleh semesta dan Jumingan, Tursina merasakan kedamaian yang tak bisa digantikan oleh apapun. Rasa kehilangan yang ia alami justru menjadikannya semakin kuat, semakin bijaksana. Ia sadar bahwa cinta yang sejati akan selalu ada, bahkan ketika fisik tak lagi bersatu. Cinta yang tetap hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam setiap langkah kehidupan yang terus berjalan.
Yogyakarta, 20240204
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment