ketika rahasia mulai batal

Senja bergelayut rendah, memeluk permukaan desa dengan warna jingga yang samar. Di sebuah rumah kecil beranda kayu, seorang perempuan bernama Endha duduk dengan jemari yang menggenggam gelas teh hangat. Cantik, tapi lebih sering disembunyikan di balik senyumnya yang pemalu. Ia memandangi arah bukit, seperti menanti sesuatu yang tak pernah datang. Di sisi lain ruang itu, Ibu Turta tengah merapikan anyaman bambu di pangkuannya. Wajah teduh perempuan dewasa ini adalah pelabuhan bagi segala keresahan.

“Bu,” suara Endha akhirnya pecah di tengah diam, “Apa menurut Ibu, cinta bisa salah arah?”

Ibu Turta tersenyum kecil, menyudahi anyaman yang sejak tadi tak kunjung selesai. “Cinta bukan soal arah, nak, tapi soal seberapa jujur kau memahami hatimu sendiri.”

Endha terdiam, bibirnya menggigit ujung gelas. Wajahnya merah, bukan karena panas teh, melainkan karena bayang seseorang—Ate. Lelaki yang kerap berdiri seperti bayangan, dingin, tetapi kokoh. Ia cuek, terlalu tenang, dan terlalu asing untuk didekati. Tapi di balik sikap itu, mata Ate pernah menangkapnya dalam diam yang begitu dalam.

“Aku menyukai seseorang, Bu.” Akhirnya ia mengaku, setelah beberapa lama terjebak dalam pikirannya sendiri. “Tapi aku takut, karena dia terlalu… jauh.”

Ibu Turta berhenti sejenak, anyaman bambu di tangannya terhenti. Perlahan, ia mengangkat tangan, merapikan rambut yang jatuh di kening Endha dengan gerakan lembut, seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya. Senyumnya muncul samar, membawa kehangatan yang sulit diungkapkan kata-kata. “Bersyukurlah atas cinta yang hadir itu, Nak," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. "Tapi, kalau boleh Ibu tahu, siapa dia? Lelaki beruntung itu?" tanyanya, dengan perhatian yang tulus.

Endha menunduk, wajahnya memerah, merasa terlalu malu untuk langsung menjawab. Tapi pada akhirnya, ia mengumpulkan keberanian. "Ate, Bu," jawabnya nyaris tak terdengar, seperti angin yang lewat. "Anak Ibu."

Senyum Ibu Turta merekah pelan, namun matanya tetap tajam membaca kegelisahan di wajah Endha. Ia tidak langsung merespons, hanya menepuk lembut pundak Endha, memberi waktu kepada nona kecilnya untuk menenangkan diri.

“Jauh?” Ibu Turta akhirnya mengulang kata itu sambil mengerutkan alis. “Atau kau yang belum cukup mendekat?”

Endha menatap ibunya, mencari jawaban dalam tatapan teduh itu. Tapi Ibu Turta tidak menuntut jawaban cepat.

"Kadang, hati manusia seperti gelas yang pecah—takut disentuh, takut diisi ulang. Tapi kau tahu, gelas retak pun bisa menampung hujan, kalau kau cukup sabar menunggunya," lanjutnya, seolah berbicara pada dirinya.

Malam itu berlanjut. Ibu asuhnya selesai mengerjakan rutinitasnya di rumah Endha sebagai anak Sulung di rumah megah itu. Dan akhirnya pamit pulang untuk beristirahat. Dan Endha juga kembali ke kamar untuk melanjutkan hidupnya.
----- 

Di sisi lain desa, Ate duduk di ujung ranjang kayunya. Rumahnya kecil, hanya terdiri dari dua ruangan sederhana, tetapi bersih dan tertata rapi berkat tangan ibunya. Di dinding, tergantung cermin kecil yang buram. Ate menatap bayangannya dengan tatapan yang sulit ditebak.

Sejak kecil, Ate tumbuh dengan didikan keras, tetapi penuh cinta dari Ibu Turta. Ia belajar menjadi lelaki yang sederhana, kuat, dan penuh hormat pada orang lain. Namun ketika menyangkut perasaan, ia sering kali bungkam, takut akan ekspektasi dan dunia yang menurutnya terlalu rumit.

Pikirannya kembali melayang ke sosok Endha. Perempuan yang kerap ia hindari, bukan karena tak suka, tapi karena takut. Ia tahu dirinya berbeda. Ia tak memiliki apa-apa dibandingkan Endha. Namun, hatinya tak bisa membohongi bahwa ia menyimpan rasa yang dalam untuk perempuan itu.

“Ibu…” panggilnya pelan ketika Ibu Turta masuk ke kamar.

Ibu Turta menatap anak lelakinya, yang selalu ia banggakan. “Ada apa, Te? Wajahmu seperti orang yang kehilangan jalan.”

Ate menghela napas. “Aku… Aku menyukai seseorang, Bu. Tapi aku takut. Aku bukan siapa-siapa.”

“Endha?” tanya Ibu Turta langsung, tanpa basa-basi.

Ate menoleh cepat, kaget. “Bu… bagaimana Ibu tahu?”

Ibu Turta tersenyum. “Seorang ibu selalu tahu, Nak. Kau menyukainya, tapi kau takut. Itu wajar. Tapi cinta tidak pernah soal siapa kau atau siapa dia. Cinta adalah soal bagaimana kau menjaga hati yang telah dipercayakan padamu."

Ia menatap anaknya dalam-dalam, memberi penekanan pada setiap kata. "Tapi ingat, Te, cinta bukan sekadar rasa manis. Kau harus siap menghadapi realita. Jalan cinta itu tidak selalu lurus. Kadang ada tanjakan, jurang, dan duri yang tak kau duga. Apalagi jika kau memutuskan untuk mencintai seseorang yang berbeda... Kasta, keluarga, atau apa pun itu."

Ate terdiam, menyerap setiap kata ibunya.

"Sebagai lelaki," lanjutnya, "kau harus punya keberanian, tapi juga ketahanan. Keberanian untuk memperjuangkan, dan ketahanan untuk menerima yang terpahit jika perjuanganmu gagal. Jangan menjadi lelaki yang hanya ingin menang tanpa siap kalah. Jika kau mencintainya, pastikan cintamu cukup besar untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Dan kalau pun akhirnya kau harus kehilangan, biarlah itu menjadi pelajaran, bukan beban yang mengalahkanmu."

Cinta harus ditempuh untuk menyatukan dua orang beserta siapa saja yang berada di jalur dan masing-masing di belakangnya. Artinya sebuah hubungan cinta, apalagi pernikahan adalah perdamaian dari segala kekurangan dan ketidak seimbangan, kau tau maksud ibu nak. tapi Ibu hanya mendoakan yang terbaik untukmu dan mencoba berdiri bersamamu di kubu mana keputusanmu berpihak...
-----

Senja beranjak malam. Desa kecil itu tertidur dalam harmoni suara jangkrik dan gemerisik dedaunan. Namun di dua rumah yang berjarak tidak seberapa jauh, dua hati masih terjaga.

Di satu sisi, Endha memikirkan keberaniannya untuk melangkah, meski takut akan jawaban yang akan ia terima. Di sisi lain, Ate masih menatap cermin buram di dindingnya, mencari kekuatan untuk menerima perasaan yang selama ini ia pendam.

Hanya waktu yang akan mengantarkan jawaban apakah kedua hati itu akan bertemu, atau tetap terpisah oleh ketakutan mereka sendiri. 
-----

Lalu di hari berikutnya yang seolah mengulang semua peristiwa sebelum-sebelumnya, pagi itupun seperti biasa, Ibu Ate datang ke rumah Endha untuk membantu memasak dan mencuci. Endha, yang biasanya disibukkan dengan tugas-tugas rumah, tampak sedikit gelisah. Sambil menunggu Ibu Ate menyelesaikan pekerjaannya, ia menatap ke luar jendela, mencari-cari kata-kata yang tepat.

Ibu Ate, yang sedang sibuk menata peralatan masak di dapur, menyadari perubahan ekspresi Endha. Dengan senyum kecil, ia berkata, “Ada apa, Nak? Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu.”

Endha terdiam sejenak, memikirkan bagaimana harus memulai. Akhirnya, dengan suara yang sedikit gemetar, ia bertanya, “Bu... Ate, biasanya jam segini sedang apa, ya?”

Ibu Ate menoleh, wajahnya penuh perhatian. "Ate? Ah, anak itu memang unik. Biasanya, kalau tidak ada kerja bakti, ia akan tidur sampai agak siang. Dia suka begadang, menulis sampai larut malam. Makanya pagi-pagi dia biasanya lelah dan tidur. Kenapa, Nak?"

Endha merasa sedikit gugup mendengar penjelasan itu. “Menulis?” ia bertanya, berusaha menyelipkan rasa ingin tahu tanpa terlihat terlalu penasaran. “Ate suka menulis? Lalu... apakah ada yang khusus ia tulis?”

Ibu Ate tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, dia suka menulis. Biasanya, dia menulis puisi atau tulisan bebas sebagai curahan hatinya. Itu adalah cara dia untuk melampiaskan apa yang dia rasakan, atau mungkin protes terhadap sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kata-kata adalah bahasa yang lebih mudah dia pahami dan ekspresikan dibandingkan berbicara langsung. Mungkin kamu akan kesulitan menghidupkan obrolan dengan dia. Ate itu... anak yang pendiam, cenderung dingin, dan tidak ekspresif. Dia mungkin terlihat cuek, tapi sebenarnya dia peduli. Hanya saja, dia tak pandai menunjukkan perasaannya."

Endha mendengarkan dengan seksama, semakin tertarik dengan setiap detail yang Ibu Ate katakan. Meskipun hatinya dipenuhi rasa ingin tahu yang mendalam tentang Ate, ada perasaan cemas yang mulai tumbuh. “Jadi, puisi-puisi itu... tentang dirinya? Tentang apa yang dia rasakan?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut, seolah takut mengganggu Ibu Ate.

Ibu Ate mengangguk, menatap Endha dengan penuh pengertian. "Betul, Nak. Dia tidak banyak bercerita, tapi puisi-puisi itu seperti jendela kecil yang memperlihatkan dunia batinnya. Itu cara dia berbicara, meskipun tanpa suara."

Endha merasa sebuah getaran aneh di dalam dirinya. Tertarik, tetapi juga merasa ada sesuatu yang sulit dijangkau. Ada kebingungan, namun juga keinginan yang tak bisa dia pungkiri untuk lebih memahami Ate. Perasaannya seperti dua sisi mata uang yang bertolak belakang—rasa penasaran yang semakin dalam, tetapi juga rasa khawatir akan kesulitan mendekati seseorang yang begitu tertutup.

"Jadi... meskipun dia terlihat dingin, dia bukan tidak peduli," ujar Endha pelan, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Ibu Ate. Ia merenung, semakin yakin dengan perasaannya yang aneh ini. Mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk mengenal Ate lebih dalam. Namun, apakah dirinya bisa menembus dinding ketertutupan itu?

Ibu Ate tersenyum bijak, melihat kebingungan dan ketulusan dalam mata Endha. "Dia punya hati yang baik, Nak. Jangan terburu-buru, dan beri dia waktu untuk menerima kedekatan itu."

Endha mengangguk pelan, hatinya terasa berat. Ia tahu, apa yang diinginkan Ibu Ate memang bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, keinginan untuk lebih mengenal Ate semakin membara, meskipun ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah.

Suasana hening, hanya terdengar suara piring yang saling bersentuhan saat Ibu Ate mengatur barang-barang di dapur. Endha menunduk, jemarinya meremas ujung selendang yang melilit lehernya, seolah mencari keberanian untuk melanjutkan pembicaraan. Ia tahu apa yang ingin ia katakan,
tapi mulutnya terasa terkunci.

“Bu... kalau boleh, aku ingin... mengunjungi Ate, boleh?” akhirnya suara lembut itu keluar, meski sedikit gemetar. Endha menatap lantai, merasa gugup. “Maksudku, setelah saya mandi dan sarapan, apakah Ibu kira... itu tidak mengganggu?”

Ibu Ate berhenti sejenak, menatap Endha dengan tatapan penuh perhatian. Ada kehangatan di matanya, tapi ia tahu betul bahwa ini bukanlah permintaan yang mudah bagi Endha, yang selalu cemas akan penilaiannya. "Oh, Nak... kalau kamu ingin berbicara dengan Ate, itu boleh. Tapi kamu harus tahu, ia tidak mudah membuka diri. Ia lebih suka waktu tenang untuk menulis, atau hanya sekedar diam. Jangan berharap banyak dalam percakapan pertama," ujar Ibu Ate dengan senyum bijak.

Endha mengangguk, meskipun perasaan cemas masih membayang. "Aku hanya ingin... berbicara dengannya, Bu," jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Mungkin ada hal yang bisa kami bicarakan, atau...”

Ibu Ate tersenyum lagi, mengerti apa yang ada dalam pikiran Endha. "Kamu ingin mengenalnya lebih dekat, kan? Ingat, jangan terburu-buru. Lakukan dengan hati yang sabar, dan beri ruang untuknya. Dia membutuhkan itu."

Endha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Terima kasih, Bu,” katanya dengan suara lembut, penuh rasa terima kasih. Ia merasa sedikit lega mendengar izin dari Ibu Ate. Walau hatinya masih berdebar, tekadnya semakin bulat. Setelah mandi dan sarapan, ia akan pergi ke rumah Ate.
-----

Setelah mandi dan berias sederhana seperti biasanya, Endha berulang kali bolak-balik menghadap cermin, seolah ada hal yang ingin ia pastikan tidak terlewat. Meski rias wajahnya terbilang sederhana dan netral, kecemasan tentang penampilannya kali ini semakin menguat di dalam dirinya. Ia merasa bimbang, ragu apakah benar-benar siap untuk bertemu dengan Ate, terlebih karena tujuannya untuk datang ke rumah Ate adalah untuk lebih dekat dengan dirinya—bukan sekadar untuk bertemu dengan Ibu Ate seperti yang biasa ia katakan. Namun, perasaan ingin mengenal Ate lebih dalam semakin kuat, mendorongnya untuk berani melangkah.

Dengan langkah hati-hati, Endha akhirnya sampai di depan rumah Ate. Setalah ragu, gelisah dan diam sejenak, Ia mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tidak lama kemudian, Ate membuka pintu dengan ekspresi wajah datar, seperti biasa.

“Endha,” sapa Ate singkat, sedikit terkejut, tetapi tidak memperlihatkan emosi berlebih. “Ada apa? sayangnya Ibu tak ada dirumah, mungkin kerumahmu, kamu tidak bertemu dengan beliau??”

Endha terdiam sejenak, hatinya semakin gugup. Ia tahu ia tidak bisa langsung berkata bahwa tujuan kedatangannya bukanlah untuk bertemu Ibu, melainkan untuk berbicara dengan Ate. Namun, hatinya memberanikan diri juga untuk mengungkapkan maksud sebenarnya.

"Oh.. iya aku tau, Iu sudah dirumahku sedari pagi tadi.." jawbanya ragu dans emakin tak menentu. ada ketakutan seolah Ate membaca hal lain dan tak terduga.

"Lalu..?" tanya Ate lagi yang langsung disambut dengan bisik lirih penuh keraguan oleh Endha, "sebenarnya... saya datang... untuk bertemu denganmu, Ate," ujar Endha dengan suara pelan, agak terbata-bata. "Jika... kamu tidak keberatan, saya ingin berbicara sebentar denganmu."

Ate menatapnya sejenak, ekspresinya masih datar, tetapi mata itu sedikit lebih lembut dari biasanya. Mungkin ada rasa bingung, atau bahkan sedikit terkejut, tetapi Ate hanya mengangguk pelan dan mundur sedikit dari pintu, memberi isyarat agar Endha duduk di serambi teras. Bahkan dirinya sendir berusaha menyangkal jika situasi jeterkejutannya pagi ini adalah bagian yang dia tunggu. Tanpa pernah berusaha mewujudkannya, itulah Ate.

“Silakan duduk di teras,” kata Ate, suaranya tetap tenang dan datar, meski tak terkesan kasar. “Aku akan cuci muka sebentar.”

Endha merasa sedikit canggung, tetapi ia mengangguk pelan dan berjalan masuk, duduk di kursi teras. Meskipun duduk dengan ragu, hatinya tetap berbunga-bunga karena akhirnya bisa berada di dekat Ate dan merasa bisa berharap bahwa dia bisa mengenalnya lebih jauh, atau berkhayal tentang sesuatu yang mahal, cinta. Ia memperhatikan sekeliling rumah yang sederhana, suasana yang berbeda dari rumahnya yang sibuk dan ramai. Rumah yang terwakili oleh kelembutan Ibu Turta setiap harinya.

Ate menutup pintu dan melangkah pergi ke dalam rumah, membasuh muka setelah kusut bangun tidur. Tidak lama kemudian, Ate kembali dengan wajah yang tampak lebih segar setelah mencuci muka. Di tangan kiri, ia membawa secangkir teh hangat yang uapnya mengepul lembut. Ia mendekati Endha dan meletakkan cangkir itu di meja di depan Endha.

“Minumlah teh ini,” kata Ate sambil menatap Endha dengan mata yang sedikit lebih lembut. “Pasti enak di pagi hari. Emmm... maaf adanya cuma teh.”

Endha terkejut melihat perhatian Ate yang begitu sederhana namun penuh makna. "Terima kasih," kata Endha, hampir tak percaya. Ia merasa dihargai, walau hati kecilnya tetap ragu untuk terlalu berharap.

Ate duduk di kursi yang sama, namun jaraknya sedikit menjauh. Mereka berdua hanya diam, menikmati udara pagi yang tenang. Endha menatap teh itu sejenak, merasa hangatnya menyebar ke dalam dirinya, seolah-olah kehangatan itu berasal dari perhatian yang diberikan Ate. Dalam diam, Endha merasa bahwa ia ingin berbicara lebih banyak, tetapi entah mengapa kata-kata itu terasa terhambat.

Meskipun diam, Endha merasakan ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—sebuah ketenangan yang hanya bisa didapatkan saat berada dekat dengan Ate. Namun, perasaan itu juga disertai dengan rasa takut. Takut jika ia salah langkah, takut jika Ate tidak akan membalas perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Namun, satu hal yang pasti: perasaan itu semakin kuat, dan Endha tahu bahwa ia harus terus berusaha, meskipun perjalanan untuk mengenal Ate lebih dalam mungkin tidak mudah.

Disisi lain, Ate sembari menghisap rokoknya juga hanya diam. Menunggu disapa dan tidak pernah berani memulai dan membuka kata. Dua situasi yang sama dirasakan anak manusia dengan ketakutan dan ketidak-biasaannya sendiri-sendiri.

Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa lama, Ate membuka mulut, memecah keheningan. “Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Ate, suaranya tetap datar, namun ada sedikit perhatian yang tersembunyi di baliknya.

Endha merasa seolah-olah ada kesempatan terbuka, meski hatinya berdebar-debar. Ia menundukkan kepala sebentar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Namun, kebisuan yang terjalin di antara mereka terasa semakin berat. Endha tahu, inilah saatnya untuk lebih jujur, meski perasaan ragu masih menghinggapinya.

"Sebenarnya... saya datang ke sini bukan hanya untuk bertemu Ibu," ujarnya perlahan, sedikit bimbang. "Tapi untuk berbicara denganmu, Ate."

" Iya, Aku tau, kan tadi kamu sudah bilang itu" Ate dengan blak-blakan membuka dan menyadarkan Endha.
"Iya taaapi...", Endha mencoba menyela saking gugupnya
"Lalu, adakah yang bisa aku bantu untuk itu?" sahut Ate lagi yang esmakin membuat perempuan di hadapannya semakin sesak napas.

Ada keheningan sejenak setelah ucapan itu, dan Endha bisa melihat ekspresi Ate sedikit berubah, meski tak terlalu jelas. Mungkin Ate terkejut, atau mungkin juga bingung. Namun, yang lebih penting, tak ada tanda-tanda penolakan. Justru, ada keheningan yang seolah memberi ruang bagi Endha untuk melanjutkan.

Ate menarik napas dalam-dalam dan akhirnya berbicara dengan lembut, meskipun tetap dengan gaya yang khas, tidak terlalu berlebihan. "Kamu ingin berbicara tentang apa?" tanya Ate, mempertemukan mata mereka untuk pertama kalinya dalam obrolan itu.

Endha merasa jantungnya berdegup kencang, namun ia tahu inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini ada di dalam hatinya. "Saya hanya... ingin lebih mengenalmu, Ate," jawab Endha dengan suara yang lebih tegas, meski sedikit gemetar. "Selama ini saya selalu merasa ada yang... berbeda saat bersama kamu. Saya... saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi saya ingin tahu lebih banyak tentangmu."

Ate tidak langsung menjawab, hisapan rokoknya beberapa kali keluar dibarengi kegundahan yang juga larut tiap kali dia menyebulkan asap yang mengepul dari bibirnya. Akhirnya Ate memandang peprmpuan di hadapannya dengan tatapan yang lebih dalam, seolah mencoba menangkap makna dari kata-kata Endha. Ada keheningan yang panjang, namun kali ini, keheningan itu terasa penuh makna. 

" Kamu bicara soal apa?" tanya Ate yang semakin membuat gelisah Endha. Dengan nada singkat itu Ate sedang ingin meyakinkan diri sendiri sebenarnya, tentang apakah yang akan di utarakan Endha adalah hal yang sama dengan yang dia rasakan sejauh ini. Tapi bukan Ate juga jika dia pintar menggambarkan keadaan perasaannya, apalagi dedepan perempuan dimana di ajatih hati dan tak berani. 

" Accchh, Ate memang begitu, benar kata Ibu... kejujurannya, keterus-terangannya membuatku seoalh tersudut... Tuhannn.. bantu aku, aku harus bagaimana" rintih Endha dalam hati setelah panah pertanyaan singkat itu menghujamnya barusan.

Yogyakarta, 20210817
duiCOsta_hatihati 



Comments

Popular Posts