Sirrullaah...

Siapa Allah? Yang tahu hanya DIA sendiri.
Allah Maha Batin (ghaib), Maha Halus (Lathiifu),
Tidak dapat dicapai dengan pengelihatan mata.
Namun nurani manusia dapat merasakan kehadirannya
Kehadiran kasih sayangNYA, kehadiran keagunganNYA.
Untuk mengenal Allah harus menempuh jalan ma’rifat (ma’rifatullah)

Apa ma’rifatullah itu?
Ma’rifatullah sulit didefinisikan
Begitu luas cakupan yang harus diraih
Begitu banyak unsur-unsur yang harus dipilih
Begitu beragam pengertian yang tumpang tindih
Secara sederhana ma’rifatullah dapat diartikan: “mengenal Allah”
Para muhaqqiqin (orang-orang yang mendalami ilmu hakekat) mengartikannya sebagai : “Ketetapan hati mempercayai Dzat yang wajib wujud (Allah) yang memiliki segala kesempurnaan”.
Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” wajib hukumnya bagi setiap mukmin
Setiap insan harus mengenal Allah, mengenal Penciptanya
Sumber dan muara dari segala sesuatu yang ada
Sumber dan muara terjadinya alam semesta.

Pada hakekatnya tiada yang mengenal Allah kecuali hanya Allah sendiri.
Barang siapa yang mengenal Allah, sesungguhnya itu merupakan rahmat yang dilimpahkan Allah kepada dirinya.

Dalam Asma’ sirr menyimpan 4 jenis ma’rifat

Pertama, ma’rifatudz-dzat
(mengenal dzat Allah – Dzatullahi)

Ini bagian yang tidak tercapai oleh insan
Bagian khusus yang merupakan hak Tuhan.
Pikir manusia tidak mungkin mencapainya
Akal manusia tidak mungkin menggapainya.
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah, jangan sekali-kali berpikir tentang dzat Allah, karena sungguh kamu tidak akan mampu memenuhi kadarnya”

Asma’nya: “ALLAH”

Kedua, ma’rifatus-sifat
(mengenal sifat-sifat Allah – Sifatullahi)

Dengan mendalami makna Asma-ul husnah
Insan menjadi mengenal sifat-sifat Allah
Mengenal sifat-sifat kesempurnaan Allah.
Insan hendaknya berakhlak dengan sifat keutamaanNYA
Tentu saja dalam batas kemampuan kemanusiaannya.

Asma’nya:
Al-Ahad, Allah Maha Tunggal (Esa)
Al-Awwalu, Maha Awal tanpa permulaan
Al-Akhiru, Maha Akhir tanpa pungkasan,
Al-Hayyu, Maha hidup
Al-Jabbar, Maha Perkasa
Ar-Rahman, Maha Pengasih
Al-Wadud, Maha Mencintai hamba-Nya

Ketiga, ma’rifatul-wujud
(mengenal wujud Allah – Wujudullahi)

Allah itu wujud (ada).
Namun wujud Allah itu tidak mungkin terjangkau oleh otak manusia.
Tidak mungkin terbayangkan khayal manusia
“laisa kamitslihi syaitu” firman Allah;
“(Allah) tidak serupa dengan apapun juga”
Apapun yang bisa dibayangkan sebagai Allah
maka itu bukan Allah, (Maha Besar Allah).
Apapun yang bisa dilukiskan sebagai Allah
pasti itu bukan Allah, (Maha Suci Allah).
Siti Aisyah ra, istri Rasul, berkata:
“man khaddatsaka anna Muhammadan saw, ro-a rabbahu fa qad kadzaba”
“barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya (pada waktu mi’raj) maka dustalah ia”
Bersabda Rasulullah Muhammad Saw;
“wa qad ro’aitu nuron, anna anahu”
“dan sungguh saya melihat cahaya, bagaimana mungkin saya melihatNya (Tuhan)”
“subhanaka, ma’arafnaka haqqa ma’rifataka”
“Maha Suci Tuhan, tidaklah kami dapat mengenalMU dengan pengenalan yang setepat-tepatnya”.

Asma’nya:
Al-Bathin, Maha Ghaib
Al-Lathiifu, Maha Lembut/halus
Az-Zhahir, Maha Nyata

Keempat, ma’rifatul-af’al
(mengenal karya-karya Allah – Af’alullahi)

Melalui Asma-ul Husna, Allah memanifestasikan karya-karyaNYA
Menampakkan af’alnya yang maha hebat
Tergelar dipermukaan seluruh jagad raya
Tersusun rapi dalam organ tubuh manusia
Jagad besar (makrokosmos), jagad kecil (mikrokosmos)
Karya tercanggih yang tak ada bandingannya
Suatu bukti kebesaran Allah tiada taranya
Bagi yang bisa membaca rahasia alam semesta,
Kebesaran Allah nampak jelas, nampak nyata.

Asma’nya:
Al-Khalik, Maha Pencipta
Al-Muhyi, Maha Menghidupkan
Al-Mumit, Maha Mematikan
Al-Jami’, Maha Mengumpulkan
An-Nur, Sang Pemilik Cahaya
Al-Ghaniyyu, Maha Kaya

Esensi ma’rifatullah adalah kesadaran,

kesadaran yang dibimbing hidayah Tuhan.
Kesadaran insan sebagai makhluk hamba Allah,
mengharuskan diri berupaya mengenal Allah.
Karena kesadaran menentukan eksistensi manusia,
tanpa kesadaran orang hidup tak akan sempurna.
Kesadaran ma’rifatullah yang pertama adalah Kesadaran akan eksistensi Allah,
Bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah.
“LAA ILAAHA ILLAALLAHU”
Kedua adalah kesadaran posisi insan dihadapan Allah
Ketiga kesadaran akan kewajiban insan
Keempat kesadaran sikap batin insan
Tanpa kesadaran ma’rifat, hidup manusia niscaya hampa.
Tanpa kesadaran ma’rifat, ibadahnya dusta belaka.

Mengkaji ma’rifat harus ekstra hati-hati
Jangan sampai terperosok kesalahan definisi.
Agar benar, lurus, sesuai ajaran ilahi
Maka harus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi
Karena Nabi Muhammad saw adalah utusan ilahi
“MUHAMMADUR RASULULLAH”

Bila kesadaran sudah membuka pintu ma’rifat,
Air telaga ma’rifat niscaya mengalir membawa rahmat.
Bila kesadaran sudah menempuh jalan ma’rifat
Hidup menjadi lurus menuju Allah As-Somad.
Kelak akan disambut di akherat:
“Salaamun qawlam mirrabbirrahiim, wamtaazul yawma ayyuhal mujrimuun”
“(kepada mereka dikatakan): “Salam sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir): “Berpisahlah kamu sekalian (dari orang-orang mukmin) pada hari itu, hari orang-orang yang berbuat jahat.”

Inilah kandungan Asma’ Sirr yang menyimpan ajaran sadar ma’rifat.

Ma’rifatullah sulit didefinisikan, secara sederhana ma’rifatullah dapat diartikan : mengenal Allah. Namun ma’rifatullah tidak hanya sekedar tahu (to know), melainkan juga harus memahami (to understand), menghayati (to perceive), meyakini (to believe firmly in) dan mengamalkan (to apply). Ma’rifatullah itu adalah ilmu sekaligus ngelmu. “Ngelmu” (bahasa Jawa) artinya pengetahuan yang memiliki unsur penghayatan, keyakinan dan pengamalan, berbeda dengan “ilmu” yang diartikan sekedar cukup dibaca dan diketahui. Ungkapan Jawa “Ngelmu iku kelakon kanthi laku” (“ngelmu” itu dapat terwujud apabila diamalkan) itu berarti bahwa “ngelmu” tidak cukup hanya diketahui, melainkan juga harus dihayati dengan baik, diyakini dengan mantap dan diamalkan dengan tekun.

Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” wajib hukumnya bagi setiap orang. Setiap insan harus mengenal Sang Penciptanya. Sumber dan muara dari segala yang ada. Beragama tanpa mengenal Robbnya ibarat berlayar tak tahu hendak kemana. Ibarat berkelana tak tahu sekarang dimana. Ibarat merantau di alam dunia tak tahu mencari siapa. Maka mengenal Allah merupakan rukun iman pertama, yang memiliki kedudukan yang tinggi.

Sebelum anda menegakan sholat, puasa, zakat dan haji terlebih dulu bersyahadat. Syahadat yang artinya kesaksian, adalah titik awal ma’rifatullah. Namun tidak semua orang yang bersaksi (syahadat) mengerti yang dipersaksikannya (di-syahadati). Pada suatu hari seorang santri sedang melangsungkan hajatan pernikahan. Pada saat akan akad nikah, Sang kyai berkata : “aku ingin cucuku yang berusia 7 tahun ini menjadi saksi dalam akad nikah ini!” tentu saja segenap orang tua yang hadir di majelis akad nikah kaget dan keberatan dengan usulan tersebut, namun sang Kyai tetap ngotot. “Mengapa tidak boleh? Cucuku ini sudah menjalankan sholat dan bisa baca Quran.” tambahnya. “Tapi kyai, meskipun begitu, tetap saja dia masih terlalu kecil untuk dijadikan saksi, ia belum mengerti apa yang sedang sejatinya ia persaksikan dalam akad nikah ini, bagaimana mungkin dijadikan saksi!” sanggah para orang tua. Lalu sang kyai menjawab : ”sebenarnya begitu juga keadaan kalian, setiap hari mengucap Syahadat (kesaksian) namun sejatinya tidak tahu apa yang sedang dipersaksikan (disyahadati)”. Begitulah sang kyai pagi itu sebenarnya hanya hendak memberi sebuah pelajaran (hikmah)  kepada para jama’ahnya.

Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” adalah fondasi agama. Adalah jalan menuju Allah ta’ala. Adalah tujuan dalam hidup manusia. Maka ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah titik awal dan titik akhir bagi insan beragama. Oleh sebab itu tidaklah tepat bila ada ungkapan : “jangan mengajarkan ma’rifat sebelum murid belum benar-benar menjalani syariat, hakikat, toriqot”. Ma’rifat adalah titik awal dan titik akhir. Sebelum seorang hamba menjalankan syariat, tarikat dan hakikat ia harus tahu dulu siapakah Robbnya (ber-ma’rifatullah / mengenal Tuhannya). Begitupula saat menjalankan syariat, tarikat dan mendalami hakikat semua tetap difokuskan ke jalan ma’rifatullah.

Ada pula orang yang beranggapan bahwa iman, syariat, tarekot, hakikat, ma’rifat digambarkan seperti sebuah jenjang anak tangga. Syariat diposisikan ada pada anak tangga bawah, setelah menjalani syariat kemudian naik ke tangga tarekot, lalu naik ke hakikat lalu tangga ma’rifat. Akhirnya ada anggapan bila sudah sampai tangga hakikat dan ma’rifat lalu boleh meninggalkan tangga syariat (sholat, puasa dan hukum syariat lainnya). Sesungguhnya tidak ada ajaran semacam itu dalam jalan menuju ma’rifatullah.

Empat Dimensi Menuju Ma’rifat

Mencapai ma’rifat bisa melalui empat dimensi. Dimensi pertama memiliki dasar iman yang kuat. Dimensi kedua adalah menjalankan hukum syariat. Dimensi ketiga ditempuh dengan ajaran tarekat. Dimensi keempat mampu menggali hakikat. Keempatnya berjalan seiring bersama-sama, berjalan serempak, saling mendukung, membantu dan bekerja sama. Menuju puncaknya ma’rifatullah. Maka bangunan ma’rifat diibaratkan bangunan piramid.

Iman tergelar sebagai dasar (pondasi) piramida. Sebagai fundamen ma’rifatullah, tanpa iman tak akan mungkin mengenal Tuhan.
Syariat pilar pelaksana hukum agama. Hukum syariat merupakan tiang agama, jalankan perintah dan jauhi laranganNYA.
Thariqat pilar pencari jalan yang bersih. Sebagai upaya pembersih kalbu dari kotoran hawa nafsu.
Dimensi hakikat penggali inti ajaran yang jernih. Membahas tuntas inti masalah yang mendasari semua ajaran ma’rifatullah.
Masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri-sendiri, keempatnya erat berkait, dan dilakukan bersama-sama. Persis seperti sedang menata batubata untuk membangun bangunan piramida. Sehingga tidak ada ajaran bila seorang kyai sudah ma’rifatullah kemudian boleh meninggalkan syariat. Sungguh itu jauh dari kebenaran jalan ma’rifatullah.

Pada hakekatnya tiada yang mengenal Allah kecuali hanya Allah sendiri. Pengenalan kepada Allah merupakan rahmat yang dilimpahkan kepada seluruh umat.

Komentar

Postingan Populer