Nang Ning Nung Neng Gung...

Cara Menjadi Pemenang
Wahai saudaraku. Kadang kala Tuhan Sang Maha Pemurah mau menganugerahkan seseorang untuk mendapatkan secuil ilmu-Nya melalui pintu hati (qalb) yang disinari oleh cahyo sejati (nurullah) – yang biasanya lazim disebut dengan ungkapan dari hati nurani. Petunjuk dari Tuhan ini lalu diartikan pula sebagai wahyu, risalah, ilham, wirayat, sasmita gaib, wisik dan sebagainya. Karena itu, tiada pilihan lain bagi kita kecuali mau mengasah kemampuan hati terdalam dengan mengasah diri agar mengenali diri sendiri dan siapakah Tuhan.

Lalu siapakah diri kita yang sebenarnya adalah satu pertanyaan yang mudah tapi sulit untuk dijawab. Dan jawaban dari masing-masing orang tidak bisa diukur secara saklak benar atau salah. Cara menjawab setiap orang pun hanya akan mencerminkan tingkat pemahamannya terhadap kesejatian Tuhan. Ini harus dimaklumi, karena hal itu memang berkaitan dengan hakekat dan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri.

Ya. Upaya manusia dalam mengenali Sang Penciptanya itu ibarat anak sekolah yang baru saja belajar. Ia hanya mengerti atas apa yang diajarkan kepadanya dan apa saja yang pernah bersentuhan dengannya. Itu pun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Dan Tuhan memang lebih dari Maha Besar, sedangkan manusia hanya seujung molekul air di samudera jika boleh diperbandingkan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

Selain itu, sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil dan Bijaksana. Setiap manusia tanpa terkecuali dapat menemukan Tuhan – dengan catatan ia mau dan berusaha mencari-Nya – melalui pintunya masing-masing. Itu terjadi karena Tuhan sudah membekali jiwa manusia dengan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Yang Maha Esa. Sinyal suci itu diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Dan sudah merupakan rumus dari Tuhan, apabila seseorang bisa meraih dharma-nya atau kodrat dirinya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya, jika ia melanggar dharma-nya, maka hidupnya akan suram, tidak tenang dan penuh penderitaan.

Untuk itu, sepanjang hidupnya di dunia ini manusia akan selalu berada di dalam arena pertempuran “Baratayudha/Brontoyudho/Mahabharata” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pandawa Lima) melawan nafsu negatif (100 Kurawa). Perang pun berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurushetra” (kalbu). Sebuah pertempuran yang paling berat dan merupakan sejatinya perang atau perang di jalan kebenaran Ilahi (jihad fi sabilillah).

Ya. Lihatlah bahwa kemenangan Pandawa Lima itu diraih dengan tidak mudah. Dan sekalipun kalah, pasukan Kurawa itu selamanya sulit diberantas hingga musnah. Artinya, sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, maka hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja kita lengah. Karena itu, di dalam keilmuan Jawa sudah diajarkan tentang berbagai macam cara untuk memenangkan perang besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin melalui lima tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Lima tahapan tersebut bertujuan untuk bisa meraih kemenangan sejati. Caranya lalu dikiaskan ke dalam nada suara instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong, Bonangdan Gong yang menimbulkan bunyi; nang ning nung neng gung. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah uraian berikut ini:

1. Nang artinya wenang atau tenang. Disini seseorang berusaha untuk sadar diri dengan rutin melakukan tirakat, semedhi, maladi hening, atau mesu raga, jiwa dan akal budi. Dalam tahapan ini, ia berkonsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin dan mematikan kesadaran jasadnya sebagai upaya dalam menangkap dan menyelaraskan diri dengan frekuensi “gelombang” Tuhan.

2. Ning artinya wening atau hening. Disini seseorang berusaha mengheningkan (meniadakan) daya cipta (akal budi) agar menyambung dengan daya rahsa sejati (suksma sejati, jiwa) yang menjadi sumber cahaya yang suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Artinya, dalam keadaan “mati raga” seseorang sedang menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening dan khusyuk, bagaikan di alam Sonya Ruri atau Awang-uwung namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Dampaknya ia pun dapat menangkap sinyal gaib dari Sang Suksma Sejati (Tuhan) sebagai bekal jalan hidupnya.

3. Nung artinya kesinungan. Disini bagi siapapun yang sudah melakukan Nang lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugerah agung dari Tuhan Yang Maha Suci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Yang Maha Suci melalui rahsa yang ditangkap oleh roh atau suksma sejati seseorang lalu diteruskan kepada jiwa untuk diolah oleh jasad menjadi manifestasi perilaku utama (laku utomo). Dampaknya seseorang akan berperilaku konstruktif (rapi, bersih, santun, cerdas, dll) dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.

4. Neng artinya heneng. Secara bahasa heneng itu berarti ketenangan, tapi disini tidak sama dengan maksud dari nang atau wenang atau tenang pada point pertama. Heneng disini juga berarti puncak dari tawakkal (berserah diri), kemerdekaan dan kebebasan diri seseorang. Jika wenang atau tenang itu berarti awal mula dan prosesnya, maka heneng disini adalah tujuan dan hasilnya. Karena itulah ia pun berada pada tahapan setelah nang, ning dan nung bisa dilalui oleh seseorang.  Dan bisa dikatakan pula bahwa orang yang sudah sampai di titik ini adalah mereka yang disebutkan di dalam Al-Qur`an surat Al-Fajr [89] ayat 27 dengan sebutan nafsul muthmainnah(jiwa yang tenang).

Untuk itulah, bagi orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan) – sudah melalui tahapan Nung – akan selalu terjaga amal perbuatannya. Sehingga amal perbuatan baiknya pun tak terhitung dan akan menjadi benteng bagi dirinya sendiri bahkan orang lain. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Satu kemenangan besar yang berupa karunia dan kenikmatan dalam segala bentuknya serta punya harapan untuk bisa meraih kehidupan yang sejati, di dunia dan akherat nanti.

5. Gung artinya agung atau keagungan atau kemuliaan. Ini adalah puncak dari perjalanan, karena pribadi yang telah meng-heneng-kan dirinya adalah sosok pemenang yang agung. Itu terjadi setelah ia bisa melepaskan segala ego dan ikatan materi duniawi melalui empat tahapan sebelumnya (nang, ning, nung, neng). Karena itulah ia bisa hidup mulia dengan memberikan manfaat untuk seluruh makhluk dan alam semesta (rahmatan lil `alamiin). Dengan begitu ia juga bisa meraih kehidupan yang sejati, selalu kecukupan, tenteram lahir batin, dan tetap menemukan keberuntungan dalam hidupnya (meraih ngelmu bejo). Dan pada tahapan inilah seseorang baru akan menemukan jawaban yang benar tentang siapakah dirinya dan siapa pula Tuhannya yang sejati.

Wahai saudaraku. Demikianlah lima tahapan yang harus ditempuh oleh seseorang agar mengetahui siapakah dirinya sendiri. Dan bila maknanya dipahami secara lebih luas, maka kelima tahapan di atas adalah sesuatu yang lebih berharga dari pada dunia dan segala isinya. Seseorang akan menemukan defenisinya sendiri tentang siapakah dirinya dan siapakah pula Tuhannya? Ia pun akan hidup mandiri dan tidak hanya sekedar ikut-ikutan orang lain, karena ia telah mendapatkan pencerahan sesuai dengan haknya. Sehingga ini akan menyelamatkan seseorang dari azab dan bencana. Sebab, hakekat dari bunyi “Nang” itu baginya adalah syariat, “Ning” merupakan tarekat, “Nung” ialah hakekat, dan “Neng” adalah makrifat. Sedangkan Gung adalah ujung dari ke empat tahapan tersebut, yaitu anugerah Tuhan yang berupa puncak dari ilmu untuk makhluk, yang disebut dengan ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dengan ilmu tersebut ia akan selamat dan menyelamatkan, di dunia dan akherat nanti. Untuk lebih jelasnya silahkan baca tulisan ini: Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat: Puncak Ilmu Jawa.

Dan sungguh, sekali lagi kita dapat mengetahui bahwa bangsa Nusantara khususnya orang Jawa itu sudah memiliki ilmu dan peradaban yang sangat tinggi. Lihat saja, sampai dengan bunyi gamelannya saja tidak bisa sembarangan dan punya makna yang sangat mendalam. Bunyinya sangat jelas dan urutannya pun tertata rapi. Dan begitu hebatnya leluhur kita dulu yang sampai segitunya bisa memikirkan tentang siapakah dirinya sendiri dan siapakah kita sebagai pribadi di atas bumi ini? Tujuannya tentu untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup. Dan informasi ini juga sudah mereka wariskan – melalui bunyi gamelan – kepada anak cucunya hingga kini. Tapi sayang sudah tidak banyak lagi yang peduli atau bisa menangkap makna dari isyarat tersebut. Padahal semua itu sangatlah berarti bagi kehidupan dunia dan akherat nanti.

Jambi, 04 April 2016
Mashudi Antoro (Oedi`)

Komentar

Postingan Populer